Meski hanya berupa batu besar dan menyimpan legenda tentang seorang anak durhaka, Batu Balai rupanya menjadi salah satu destinasi wisata di Bangka Belitung. Tak hanya bisa berswafoto dengan Batu Balai, di tempat wisata tersebut juga terdapat pemandangan yang indah. Legenda yang sampai sekarang masih melekat ketika berkunjung k tempat ini.
Legenda Batu Balai
Pada zaman dahulu, di tengah-tengah hutan di Mentok hiduplah seorang perempuan tua. Ia mempunyai seorang putra bernama Dempu Awang. Kehidupan mereka sangat sederhana. Mereka hidup dari hasil ladang yang ditanami ubi, keladi dan lain-lain. Hasil ladang yang mereka peroleh sangat sedikit. Dempu Awang bermaksud merantau mencari pekerjaan yang lebih baik. Sang ibupun mengizinkan keinginan Dempu Awang tersebut.
Dempu Awang berangkat menumpang kapal layar menjadi anak buah kapal untuk membayar ongkos. Sepeninggal Dempu Awang, ibunya tinggal seorang diri di tengah hutan. Ia selalu berdoa agar anaknya selamat dan mendapat pekerjaan. Tak terasa sepuluh tahun telah berlalum Dempu Awang telah menjadi seorang yang kaya raya, mempunyai istri yang cantik dan anak orang kaya. Namun, ia tidak pernah memberikan kabar kepada ibunya.
Suatu hari, Dempu Awang bermaksud pulang ke kampung halaman untuk menemui ibunya. Berangkatlah ia bersama istrinya ke Mentok dengan naik perahu layar miliknya. Tak berapa lama, sampailah perahu layar Dempu Awang di perairan kampung halamannya.
Ketika melihat ada perahu layar berlabuh, nelayan-nelayan yang sedang berada di pantai perairan itu mengayuhkan sampan-sampan mereka ke perahu itu. Ketika sudah dekat, mereka melihat seorang anak muda bersama seorang perempuan berdiri di pinggir geladak. Anak muda itu memberi isyarat agar para nelayan itu naik ke perahunya. Anak muda itu segera menanyakan keadaan ibunya. Para nelayan itu mengatakan bahwa wanita tua itu masih hidup dan berada seorang diri di tengah hutan.
Mendengar itu, Dempu Awang minta tolong kepada nelayan-nelayan itu agar membawa ibunya ke perahu. Wanita tua itu dijemput oleh para nelayan dan dibawa ke perahu. Ketika Dempu Awang melihat wanita tua renta itu menaiki tangga perahu, cepat-cepat disuruhnya pelayan untuk mengusir wanita tua itu. Dempu Awang malu mengakui ibunya yang sudah tua renta dan berpakaian compang-camping di hadapan istrinya.
Sementara itu, di pinggir perahu wanita tua itu menyatakan bahwa ia adalah ibu Dempu Awang dan mengetahui adanya tanda goresan di kening akibat bekas luka jatuh.
Mendengar perkataan wanita itu, Dempu Awang menjadi marah dan tidak memberi kesempatan kepada perempuan tua itu untuk naik ke tangga perahunya. Melihat kejadian itu, istri Dempu Awang menasehati agar menerima ibunya dan tidak perlu malu atas hal ini.
Tanpa memperdulikan kata-kata istrinya, Dempu Awang mendorong perempuan tua itu hingga terjatuh dari tangga perahu ke dalam sampan yang membawanya tadi. Para nelayan sangat sedih melihat keadaan wanita itu, lalu mengayunkan sampannya pulang.
Di dalam sampan, wanita tua itu berlutut sambil mengangkat kedua belah tangannya ke atas. Ia mohon kepada Yang Mahakuasa agar memberikan balasan yang setimpal kepada Dempu Awang. Dempu Awang telah menjadi anak durhaka, tidak mengakui ibu kandungnya.
Sewaktu Dempu Awang akan berlayar meninggalkan perairan kampung halamannya, tiba-tiba turun angin rebut serta hujan lebat ditambah guntur dan petir. Saat itu juga, perahu Dempu Awang pecah terbelah dua, lalu karam. Setelah angin rebut dan hujan reda, ternyata perahu bersama Dempu Awang telah menjadi batu, sedangkan istrinya menjadi kera putih.
Menurut kepercayaan orang-orang di Mentok, batu itu sampai sekarang masih ada menyerupai kapal dan terletak 3.5 km di sebelah utara Mentok, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Bangka-Belitung. Batu-batu itu berukuran lebih kurang 8×6 meter dan tingginya 5 meter. Ada hal yang menarik, ketika batu ini dipukul dengan tangan maka akan terdengar suara pong-pong.
Pada zaman dahulu, di samping batu itu terdapat kantor pemerintahan serta tempat orang-orang kampung di sekitar untuk bermusyawarah. Tempat ini disebut balai. Sehingga batu itupun dinamakan “batu balai”. Sampai sekarang batu balai masih terpelihara dengan baik.