Jam Gadang adalah nama untuk menara jam yang terletak di pusat Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia. Menara jam ini memiliki jam dengan ukuran besar di empat sisinya sehingga dinamakan Jam Gadang, sebutan bahasa Minangkabau yang berarti jam besar, selain itu jam Gadang Menjadi Ikon Kota Bukittinggi.
Selain sebagai pusat penanda kota Bukittinggi, Jam Gadang juga telah dijadikan sebagai objek wisata dengan diperluasnya taman di sekitar menara jam ini. Taman tersebut menjadi ruang interaksi masyarakat baik di hari kerja maupun di hari libur.
Jam Gadang memiliki denah dasar seluas 13 x 4 meter. Bagian dalam menara jam setinggi 26 meter ini terdiri dari beberapa tingkat, dengan tingkat teratas merupakan tempat penyimpanan bandul. Bandul tersebut sempat patah hingga harus diganti akibat gempa pada 2007.
Terdapat 4 jam dengan diameter masing-masing 80 cm pada Jam Gadang. Jam tersebut didatangkan langsung dari Rotterdam, Belanda melalui Pelabuhan Teluk Bayur dan digerakkan secara mekanik oleh mesin yang hanya dibuat 2 unit di dunia, yaitu Jam Gadang itu sendiri dan Big Ben di London, Inggris.
Sejarah Jam Gadang
Dalam sejarahnya, Jam Gadang yang terlihat kokoh ini berusia hampir 100 tahun. Dibangun pada tahun 1926-1927 atas prakarsa Hendrik Roelof Rookmaaker, sekretaris kota atau controleur Fort de Kock, yang sekarang menjadi Kota Bukittinggi, pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Jam Gadang sendiri dirancang oleh arsitek asli Minangkabau, Jazid Rajo Mangkuto Sutan Gigi Ameh dan terletak di tengah Taman Sabai Nan Aluih. Hal yang menarik dari pembangunan tugu Jam Gadang ini adalah tidak menggunakan rangka logam dan semen melainkan menggunakan campuran batu kapur, putih telur dan pasir.
Pembuatan Jam Gadang harganya mencapai 3.000 gulden, jumlah yang fantastis kala itu. Dengan uang sebesar itu, tak ayal Jam Gadang sudah menjadi pusat perhatian bahkan sebelum diresmikan. Sedangkan jamnya tersebut merupakan pemberian dari Ratu Belanda, Wilhelmina. Sejak berdiri hingga sekarang, Jam Gadang telah mengalami tiga kali perubahan pada bagian atasnya.
Pada awal pemerintahan Hindia Belanda, atap Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam. Kemudian pada masa penjajahan Jepang berubah lagi, dan pada saat itu puncaknya terlihat seperti kuil Shinto. Baru setelah Indonesia merdeka, puncak Jam Gadang Bukittinggi berubah menjadi atap model gonjong, seperti rumah adat Minangkabau. Uniknya, jam besar yang ada di Jam Gadang Bukittinggi merupakan jam edisi terbatas.
Jam ini merupakan produk dari Vortmann Recklinghausen dan hanya ada dua di dunia. Selain terdapat di Jam Gadang Bukittinggi, mesin jam ini juga terdapat di Menara Big Ben, Inggris. Karena itulah Jam Gadang dan Big Ben disebut jam kembar.
Sistem penomoran Jam Gadang menggunakan sistem angka Romawi, namun jika diperhatikan dengan seksama, angka empat ditulis dengan cara yang tidak biasa. Angka empat pada Jam Gadang tidak ditulis dengan huruf ‘IV’, melainkan dengan empat huruf ‘I’ (IIII). Alasan penulisan angka IIII masih menjadi misteri.
Sebagian orang mengira bahwa tulisan angka IIII untuk memperingati 4 orang pekerja yang meninggal dunia akibat kecelakaan kerja. Ada juga yang berpendapat bahwa kesalahan itu karena teknik, penulisan IV dianggap rumit dan membutuhkan lebih banyak besi baja, sehingga tidak ekonomis.
Juga, ada versi yang mengatakan IV didefinisikan sebagai “I Victory”, yang artinya saya menang. Untuk menghindari makna “kami menang” karena takut memberontak terhadap penjajah, penulisan angka 4 sebagai IIII. Versi terakhir menunjukkan bahwa sistem penomoran Romawi telah berubah secara mendasar. Sebagai bukti jam matahari dibuat sebelum abad ke-19, hampir semuanya menggunakan IIII untuk angka 4 dan Jam Gadang adalah salah satunya karena dibuat sebelum abad ke-19.
Banyak para masyarakat yang datang ke obyek wisata untuk dijadikan sebagai ruang berinteraksi para masyarakat. Terlebih lagi di sekitar menara jam di perluas dengan taman yang memberikan daya tarik para wisatawan. Menara jam ini merupakan bagunan peninggalan di era Hinda-Belanda. Menara jam ini selalu identik dengan ibu kota provinsi Sumatra Barat. Wajar saja bila menara jam ini dijadikan sebagai simbol di provinsi yang memiliki banyak obyek wisata ini.